Sunday, June 19, 2011

Pendidikan Diri dari Kodrat ke Arah Adab Bentuk dan Isi Alam Kanak-kanak *Ki Hadjar Dewantoro

PERMAINAN kanak-kanak itu
sebenarnya sudah lama
menarik dan menjadi pusat
perhatian para ahli pendidik
di seluruh dunia. Sebelum
Friedrich Frobel memasukan
permainan kanak-kanak di
dalam“Kinder¬garten”-nya,
sebagai anasir mutlak dalam
pendidikan anak-anak di
bawah umur 7 tahun, sebelum
itu sudah ada perhatian
terhadap soal tersebut.
Mungkin karena Pestolozzi
–“bapak” dari pada “sistem
sekolah” (yang “modern”
pada jamannya pertengahan
dan akhir abad XVIII, jadi
jaman hidupnya Frobel juga)–
dengan tegas menganjurkan
pengembalian sistem
pendidikan yang tatkala itu
membeku dalam bentuk, isi
dan lakunya, ke arah
“natuurlijkheid”, yaitu kodrat
keadaan dalam umumnya dan
kodrat hidup tumbuh kanak-
kanak pada khususnya.
Sebetulnya pelopor
pembaharuan hidup, pelopor
“revolte” Jean Jacques
Rousseau (yang berhasrat
membebaskan hidup manusia
dari segala ikatan adat yang
mati), pun di dalam dunia
pendidikan pula dianggap
pelopor, ialah pelopor
pendidikan merdeka. Salah
satu tuntutan Rousseau ialah
kemerdekaan jiwa kanak-
kanak, membebaskan dia dari
kekangan dan
mengemukakan kodrat hidup
kanak-kanak. Dan kodrat jiwa
kanak-kanak. Itulah yang
terkandung dalam bentuk dan
isi segala macam permainan
kanak-kanak.
Apabila kita meninjau segala
gerak-gerik kanak-kanak,
menilik segala sikapnya,
kesedihan dan
kesenangannya, langkah-
lakunya, maka dapatlah kita
lihat, bahwa semua itu
nampak di dalam berbagai-
bagai permainan-
permainannya. Ini disebabkan
anak-anak itu selama mereka
tidak tidur atau sedang
melakukan sesuatu pekerjaan
yang penting (dan ini biasanya
terlaksana secara sambil-
lalu) tentulah mereka itu
bermain-main. Boleh
dikatakan, bahwa permainan
itu mengisi sepenuhnya hidup
kanak-kanak, mulai ia bangun
pada waktu pagi-pagi, sampai
ia tidur lagi pada malam hari;
sehari terus. Beristirahat
hanya kadang-kadang bila ia
sungguh lelah – dan ini jarang
terjadi – atau terpaksa,
misalnya kalau ia tak dapat
menolak keharusan untuk
makan atau minum, untuk
menga¬singkan diri sebentar,
atau dipanggil ayah ibunya.
Percayalah, bahwa semua
pemutusan waktu bermain itu
oleh anak-anak sendiri
dianggap sebagai“gangguan”
yang mengecewakan.
Biasanya kalau anak itu
sungguh lelah, ia berganti
bermain yang serba ringan;
dan ini berlalu secara
“spontan” dengan sendiri.
Jumlah dan Jenis Permainan
Jumlah permainan kanak-
kanak itu banyak sekali dan
boleh dibilang tak terhitung
banyaknya. Ini disebabkan,
selain permainan-permainan
yang lama, senantiasa ada
tambahan permainan-
permainan baru, yang dibawa
oleh kanak-kanak, baik anak-
anak yang berasal dari
tempat lain, maupun oleh
anak-anak setempat, yang
meniru permainan-permainan
yang berasal dari golongan-
golongan lain. Kadang-
kadang permainan-
per¬mainan baru tadi timbul
karena spontanitas kanak-
kanak, atau merupakan
ciptaan pihak orang tua, yang
biasanya dengan segala
senang hati diterima oleh
anak-anak. Pendek kata,
segala permainan baru dari
manapun asalnya, selalu
diterima oleh kanak-kanak
sebagai tambahan yang
sangat dihargai; barang tentu
asalkan sesuai dengan jiwa
kanak-kanak.
Permainan-permainan yang
lama biasanya tidak
dilepaskan oleh kanak-kanak,
yang dalam hal itu seringkali
menunjukkan sikap kon-
servatif. Kerapkali kejadian
pula anak-anak
memperbaharui permainan
lama, yaitu sifat permainan
lama masih nampak, tetapi
dengan bentuk yang agak
baru, atau bentuknya tak
berubah, namun isinyalah
yang baru. Dengan begitu
maka di samping permainan-
permainan lama selalu timbul
permainan-permainan baru,
hingga jumlahnya banyak
sekali. Barang tentu di
sesuatu tempat dan dalam
sesuatu waktu ada juga
permainan-permainan yang
akan dilakukan lagi oleh
kanak-kanak, akan tetapi
pada lain waktu timbullah
dengan sendiri permainan-
permainan, yang tadinya
sudah tak pernah dimainkan
oleh kanak-kanak.
Kalau kita menengok bentuk
dan isi permainan-permainan
itu, maka banyak sekali
terdapat anasir-anasir atau
bahan-bahan, yang berasal
dari hidup kemasyarakatan
yang mengelilingi hidup
kanak-kanak. Segala
pengaruh alam dan jaman,
yang memperbaharui masya-
rakat, dalam instansi kedua
memperbaharui pula bentuk
dan isi permainan kanak-
kanak. Berhubungan degan
itu hendaknyalah diingat
bahwa konservatisme kanak-
kanak, seperti telah disebut
di muka, menyebabkan terus
hidupnya permainan-
permainan kuno, seolah-olah
terhindar dari pengaruh alam
dan jaman baru. Keadaan ini
nampak dalam hidup kanak-
kanak kita, yang masih
mempunyai permainan-
permainan berasal dari jaman
feodal, jaman permainan
primitif, di zamannya masih
ada perdagangan anak-anak
dan lain sebagainya. Hal ini
tidak saja amat berhubungan
dengan sifat“statis” daripada
masyarakat kita (dan ini
berhubungan pula dengan
tidak adanya hidup tumbuh
secara bebas dan merdeka
dalam sejarah kebudayaan
kita sejak adanya penjajahan
asing), tetapi ada lagi
pertaliannya dengan sifat
activisme, yang antara lain
diuraikan dalam teori
atavisme oleh seorang ahli
ilmu-jiwa Amerika Stanley
Hall.
Sifat permainan kanak-kanak
Sejak timbulnya “paedalogy”,
ilmu pengetahuan tentang
hidup kanak-kanak pada
umumnya dan khususnya
sebagai akibat perkembangan
ilmu pendidikan (paedagogy),
maka para ahli biologi
menaruh minat dan perhatian
pula terhadap soal permainan
kanak-kanak, terpandang dari
sudut ilmu-ilmu yang luas.
Stanley Hall, yang baru kita
sebut tadi, menghubungkan
dengan sifat-sifat permainan
kanak-kanak dengan“hukum
biogenese”, pelajaran Ernst
Haeckel, mengenai asalnya
segala gerak-gerik di dalam
hidup manusia, yang
dikatakan: selalu mempunyai
sifat ulangan pendek dari
hidupnya jenis manusia dalam
jaman-jaman yang lampau,
mulai jaman purbakala. Hidup
tumbuhnya“ontogenese”,
adalah ulangan singkat dari
kemajuan“phylogenese”.
Begitu segala tingkah laku
kanak-kanak bermain-main
dengan batu, dengan tanah,
dengan air, dengan hewan
atau permainan perang-
perangan, pertanian,
perdagangan, beradu
kekuatan, dll. sebagainya
menurut Haeckel tadi boleh
dipandang sebagai ulangan
jaman batu, jaman pertanian,
pelajaran, penggembalaan,
keprajuritan dan sebagainya,
yang terdapat di seluruh
dunia. Inilah sebabnya,
menurut Stanley Hall, segala
permainan kanak-kanak itu di
segala pelosok di seluruh
dunia mempunyai sifat yang
sama dalam pokoknya ialah
ulangan atavistis.
Baiklah di sini diingat adanya
sikap manusia, yang
“onbewust” biasanya, untuk
mengganti atau mengubah
sifat-sifat“keinginan
instinctif” (berasal dari teori
atavisme dari Stanley Hall
tadi) dengan sifat-sifat yang
untuk jaman yang berlaku
sekarang ini tidak
diharamkan, atau
bertentangan dengan syarat-
syarat kesusilaan dalam jalan
ini. Sikap inilah yang menurut
Karl Groos dan Dr. Maria
Montessori disebut
“katharsis”, yang sebenarnya
berarti; “memurnikan”, yaitu
menghilang¬kan sifat-sifatnya
yang kasar atau tak senonoh.
Katharsis itu sebenarnya,
“permainan” yang dilakukan
oleh orang-orang dewasa,
untuk menuruti dorongan-
dorongan dari macam-macam
insting, hanya saja diberi
bentuk yang sesuai atau
dibolehkan oleh moralnya
jaman yang berlaku. Contoh-
contohnya misalnya:
perjudian, menyembelih
hewan dan menanam
kepalanya di bawah
bangunan-bangunan yang
didirikan, lain-lain macam
bersaji, dsb.; untuk orang-
orang muda misalnya
mengada¬kan pesta dengan
berdansa-dansa,
berdarmawisata dan
melakukan sport bercampur,
laki-laki dan perempuan, dsb.
Demikian teori atavisme
tentang permainan kanak-
kanak (dan orang dewasa)
menurut Stanley Hall.
Sifat-sifat biologis.
Ada pandangan lain tentang
permainan kanak-kanak yang
disandarkan pada spontanitas
dalam hidupnya kanak-kanak.
Dibuktikan oleh Montessori,
secara eksperimental, bahwa
tumbuhnya jasmani kanak-
kanak itu menimbulkan
keinginan-keinginan yang
kuatnya dorongan atau
tuntutan jiwa, yang seringkali
berlalu secara tiba-tiba atau
“spontan” (tak dengan dipikir-
pikir sebelumnya). Anak-anak
kecil suka merangkak, suka
bersandar pada tongkat atau
barang lain, merambat pagar
dan lain sebagainya, itu
adalah tuntutan jasmani,
guna mendapat gambaran
kekuatan atau pengurangan
beban, yang perlu untuk
berjalannya serta segala
gerak-gerik badan kanak-
kanak yang menurut
kodratnya masih kekurangan
kekuatan. Permainan kanak-
kanak pada umumnya boleh
dipandang sebagai tuntutan
jiwanya yang menuju ke arah
kemajuan hidup jasmani
maupun rohani. Lihatlah
caranya kanak-kanak
bermain-main.
Banyak permainan-permainan
itu merupakan tiruan gerak-
gerik orang tua; misalnya
permainan yang meniru orang
bercocok tanam, berdagang,
menerima tamu, mengejar
pencuri dsb. “Meniru” ini
sangat berguna, karena
mempunyai sifat mendidik diri
pribadi, degan jalan orientasi
serta mengalami, walaupun
hanya secara khayal atau
fantasi. Dalam hal ini sama
faedahnya dengan sandiwara.
Kerapkali permainan kanak-
kanak itu bersifat mencoba
kekuatan atau kepandaian
(kecerdikan, kecakapan dan
sebagainya). Ia selalu
berhasrat mengalahkan
temannya, merasa amat
senang kalau menang, susah
kalau kalah; sama dengan
semangat orang-orang yang
bertanding dalam
keolahragaan. Ini mendidik
kanak-kanak pula, tidak saja
untuk selalu memperbaiki
kecakapannya, tetapi juga
untuk menebalkan
tekad¬nya, kepercayaannya
atas dirinya sendiri. Dalam
hubungan ini ada baiknya
disebutkan pula, bahwa
kanak-kanak seringkali
mematahkan atau
memecahkan barang-barang
itu karena keinginan mencoba
kekuatannya. Menyakiti
hewan atau anak lain boleh
termasuk dalam pandangan
ini.
Mencoba kekuatan atau
kepandaian itu jika tidak
dengan beradu, yaitu
dilakukan sendirian, lalu
bersifat“demonstrasi”
memperlihatkan kejadiannya,
dan ini adalah salah satu
corak perangai manusia yang
umum, yang dapat pula
dianggap ada faedahnya,
misalnya berhubungan
dengan tumbuhnya rasa diri,
rasa bertanggung-jawab, rasa
tidak
“minderwaardig” (kurang
berharga), dan sebagainya.
Permainan kanak-kanak itu
umumnya sama dengan
caranya anak-anak belajar
melatih diri, berupa persiapan
untuk hidupnya kelak. Anak-
anak kucing gemar bermain-
main dengan segala barang
yang mudah digerakkan, dan
sesudah digerakkan sendiri,
lalu ditubruk-tubruk, secara
kucing tua menubruk tikus.
Karena inilah Montessori
menetapkan pula, bahwa
permainan kanak-kanak itu
semata-mata latihan daripada
segala laku, yang kelak perlu
bagi hidup manusia. Caranya
kanak-kanak terus menerus
mengulangi sesuatu
permainan. Tidak dengan
bosan-bosan, menunjukkan
sifatnya latihan itu pada
umumnya.
Sebabnya Kanak-kanak
Gemar Bermain
Bahwa kanak-kanak itu
gemar sekali akan segala
permainan, tak usah
diterangkan dengan panjang
lebar. Kita semua dapat
menyaksikannya sendiri.
Apabila ada seorang anak
tidak suka bermain-main,
bolehlah dipastikan bahwa
anak itu sedang sakit,
jasmaninya ataupun
rohaninya. Di muka sudah
diterangkan, bahwa sehari
terus, mulai bangun pagi-pagi
sampai tidur pula pada waktu
malam, anak-anak itu tentu
bermain-main. Anak yang tak
berbuat apa-apa, dalam
bahasa Jawa “nganggur”,
boleh dikatakan tidak ada.
Apakah kiranya yang
menyebabkan terus menerus
bergeraknya anak-anak itu?
Jawab pertanyaan ini kita
serahkan kepada Herbert
Spencer, seorang ahli ilmu-
ilmu jiwa dan filsuf bangsa
Inggris. Spencer
mengajarkan, bahwa sifat
dinamis dalam hidup
tum¬buhnya kanak-kanak itu
adalah akibat dari adanya
sisa kekuatan
(krachtoverschot) di dalam
jiwa dan tumbuhnya kanak-
kanak, yang sedang ada
dalam keadaan bertumbuh
itu. Produksi kekuatan dalam
kanak-kanak itu melebihi apa
yang perlu bagi hidupnya
kanak-kanak, lahir dan batin,
sehingga lalu ada”sisa” tadi.
Dan sisa kekuatan ini
menuntut secara organis,
agar dipakainya, supaya lalu
ada imbangan lagi antara
kekuatan lahir dan batin di
dalam hidupnya anak-anak,
imbangan mana bersifat rasa
enak, semuanya karena
adanya“penyaluran”. Sisa
kekuatan itulah yang
mengakibatkan anak-anak
secara spontan terus
bergerak, dinamis lahir dan
batin, tak berhenti secara
istirahat. Dalam keadaan
begitu maka anak-anak yang
terpaksa diam, merasa
terhukum, kadang-kadang
menyebabkan terganggunya
kesehatan jasmaninya,
karena“overspanning”.
Alangkah baiknya, bila tiap-
tiap orang tua menginsyafi
kebenaran pelajaran Spencer
ini, dan memberi kesempatan
sebanyak-banyaknya dan
sebebas-bebasnya kepada
anak-anaknya, untuk
bermain-main dan bergerak
badan, yang sangat perlu bagi
kesehatan roh dan badannya.
Untuk kepentingan ini tak
usah diterangkan, bahwa
permai¬nan-permainan yang
bersifat“sport” (barang tentu
disesuaikan dengan kekuatan
kanak-kanak), patut
diperhatikan secukupnya.
Latihan Panca Indra
Selain kepentingan fisiologis,
yang bertali dengan
kesehatan badan (yang
sangat perlu untuk
tumbuhnya jasmani dengan
sebaik-baiknya), ada pula
kepentingan yang mengenai
kemajuan hidup rohaninya
kanak-kanak. Permainan
kanak-kanak yang dalam
bentuk dan isinya boleh
dikata semuanya mempunyai
sifat latihan panca indra,
tidak berbeda sebenar¬nya
dengan maksud dan tujuan
“latihan panca indera” ala
Montessori. Dan sebagai
diketahui maka latihan panca-
indra itu oleh Montessori
dimaksudkan sebagai gerak
lahir secara teratur, yang
besar pengaruhnya kepada
tumbuh serta bangunnya
batin kanak-kanak. Dengan
latihan-latihan pekerjaan
yang bermacam-macam,
seperti menggambar,
mengancam, melempar
barang ke arah jarak yang
tertentu, mengatur tertibnya
urut-urutan barang ke arah
jarak yang tertentu,
mengatur tertibnya urut-
urutan suara atau barang-
barang menurut panjangnya,
besarnya atau beratnya, dan
lain sebagainya, maka rasa
dan pikiran kanak-kanak,
pula kemauannya, dapat
terdidik dengan sendiri. Di
sinilah dengan tegas
dibuktikan adanya hubungan
yang sangat erat antara
kemajuan jasmani dengan
rohani, dan teranglah bahwa
permainan kanak-kanak, juga
yang spontan keluar dari
kemauannya sendiri, jadi
tidak diatur oleh gurunya
(atau“pembantu”-nya
menurut istilah Montessori)
benar-benar mengandung
faktor psychologis.
Dengan sendiri kita di sini
pada nama Frobel, yang
sangat mementingkan
permainan kanak-kanak bagi
“kindergarten”-nya. Pokok
perbedaan antara Montessori
dengan Frobel ialah, karena
pencipta Kindergarten yang
terkenal di seluruh dunia itu
memandang kanak-kanak
dari sudut totalitet kejiwaan
dan memandang permainan
tadi sebagai gerak kodratnya
kanak-kanak. Kegembiraan
kanak-kanak tadi dan
segarnya jiwa serta
semangatnya, yang
menggetar dan berseri-seri,
selama kanak-kanak bermain
di dalam“taman kanak-
kanak”, itulah syarat mutlak
menurut Frobel, guna
memupuk perkembangan jiwa
kanak-kanak.“Taman” dalam
nama perguruan Frobel itu,
bukan perkataan hampa,
bukan hanya perlambang
pula, tetapi memang
dimak¬sudkan oleh si
pencipta harus bersatunya
jiwa kanak-kanak dengan
tumbuh-tumbuhan pula, yang
harus dipelihara menurut
syarat-syarat keindahan.
Demikianlah anjuran Frobel.
Montessori menunjukkan
corak lain, ialah corak yang
“zakelijk”, yang jauh dari
maksud “puisi” atau
“romantik”, seperti nampak
dalam sistem “Kindergarten”,
Montessori menciptakan
untuk sekolahnya pelbagai
“permainan” yang bertujuan
memasukan panca-indera
pada instansi pertama,
sedangkan menyenangkan
kanak-kanak itu jatuh nomor
dua. Itulah sebabnya para
pengikut Frobel secara
mengejek menamakan
“Montessorischool” itu bukan
ruang pendidikan, melainkan
“laboratorium” untuk
“mengeksperimentir”
penyelidikan “analitis
psikologis” berasal dari
doktor medika Montessori.
Anak-anak yang menjadi
“proefkonijn”-nya (alat
percobaan).
Bagaimanapun juga nyatalah,
bahwa permainan kanak-
kanak itu sungguh besar
sekali faedahnya terhadap
hidup tumbuhnya jasmani dan
rohani kanak-kanak, karena
sangat sesuai dengan dasar
kodratnya kanak-kanak, baik
dipandang biologis, psikologis
maupun pedagogis.
Permainan dalam
Kebudayaan Kita
Apabila kita pada waktu senja
suka meninjau ke dalam
kampung-kampung atau desa-
desa, maka pastilah
tertangkap dalam telinga kita
bermacam-macam nyanyian-
nyanyian kanak-kanak. Jika
kebetulan terang bulan,
maka sampai agak malam
suara lagu-lagu itu terdengar,
biasanya berbarengan dengan
suara“gejog”, yaitu
permainan memukul-mukul
“lesung” (penumbuk padi)
yang dilakukan dengan penuh
irama. Pula pembacaan buku
dengan“lagu-lagu” macapat
di sana sini masuk ke dalam
pendengaran kita. Di
Pasundan kerapkali suara
seruling atau kecapi mengisi
suasana desa. Semuanya itu
membuktikan adanya
“musikalitas” pada bangsa
kita, yaitu adanya dasar seni-
suara dalam hidup
kebudayaan kita. Bukan
itulah kini yang kita
bicarakan. Yang sekarang
menarik perhatian kita ialah
kedudukan permainan kanak-
kanak dalam hidup
kebudayaan kita. Dalam pada
itu bolehlah di sini diketahui,
bahwa sebagian besar
daripada permainan-
permainan kanak-kanak kita
itu disertai nyanyian-nyanyian
yang membuktikan adanya
“musikalitas” tadi juga pada
anak-anak kita.
Pada permulaan karangan ini
sudah saya kemukakan,
bahwa jumlah permainan
kanak-kanak itu besar sekali;
ada yang timbul dari
spontanitas kanak-kanak
sendiri, ada yang rupa-
rupanya ciptaan orang tua
yang berbudi seniman. Dalam
buku besar karangan dan
himpunan H. Overbeck,
penerbit“Java
Instituut” (Javaansche
meisjesspelen en
kinderliedjes) dapatlah kita
menghitung 690 permainan
dan nyanyian. Ini hanya
permainan anak-anak
perempuan saja. Rangkaian
perkataan “permainan dan
nyanyian” menunjukkan
adanya hubungan yang erat
antara kedua-duanya. Ada
yang pokoknya berwujud
“permainan” tetapi dengan
diantar lagu, ada pula yang
pokoknya“nyanyian” tetapi
disertai gerak-gerik yang
berirama.
Barang tentu kita semua tahu
adanya siaran-siaran radio,
yang menyebutkan acara:
permainan kanak-kanak
(dolanan anak). Dan kita
mengerti, bahwa kita akan
mendengar nyanyian-
nyanyian, yang dilagukan
biasanya untuk mengantar
permainan-permainan kanak-
kanak. Juga dalam acara
“klenengan” atau “uyon-
uyon”, yang berarti konser-
gamelan, kadang-kadang
diberitahukan adanya
“dolanan kanak-kanak”. Ini
berarti para “niaga” akan
memainkan dan “pesinden”
akan melagukan nyanyian-
nyanyian kanak-kanak. Bukti
pula bersatunya permainan
dan nyanyian. Tidak itu saja;
dimainkannya lagu permainan
kanak-kanak menunjukkan
pula, bahwa lagu-lagu
dolanan itu banyak yang
cukup baik, cukup bernilai
kesenian, hingga patut untuk
didengarkan dan dirasakan
merdunya oleh orang-orang
tua, sebagai seni-suara.***
Mimbar Indonesia No. 52 – 25
Desember 1948
Ki Hadjar Dewantoro adalah
tokoh peletak dasar
pendidikan nasional. Terlahir
dengan nama Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat, di
Yogyakarta, 2 Mei 1889. Pada
tanggal 25 Desember 1912 dia
bersama dr. Douwes-Dekker
dan dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo
mendirikan Indische Partij.
Setelah aktif di bidang politik
dan sempat dibuang
Pemerintah Kolonial Belanda,
sekembalinya di tanah air
pada tahun 1918, ia
mencurahkan perhatiannya di
bidang pendidikan sebagai
bagian dari alat perjuangan
meraih kemerdekaan.
Bersama rekan-rekan
seperjuangannya ia
mendirikan Nationaal
Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau lebih
dikenal dengan Perguruan
Nasional Tamansiswa, 3 Juli
1922. Dalam zaman
pendudukan Jepang,
kegiatannya di bidang politik
dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu
Pemerintah Jepang
membentuk Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) dalam tahun
1943, Ki Hadjar duduk sebagai
salah seorang pimpinan di
samping Ir. Soekarno, Drs.
Muhammad Hatta dan K.H.
Mas Mansur. Jabatan yang
pernah dipegang setelah
Indonesia merdeka ialah
sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan
yang pertama. Tokoh dan
pahlawan pendidikan ini
tanggal kelahirannya 2 Mei
oleh bangsa Indonesia
dijadikan hari Pendidikan
Nasional. Selain itu, melalui
surat keputusan Presiden RI
no. 305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959 Ki Hadjar
ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional.
Penghargaan lainnya yang
diterima oleh Ki Hadjar
Dewantoro adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada di
tahun 1957. Dia meninggal
dunia pada tanggal 28 April
1959 di Yogyakarta.
Sumber: Ki Hadjar
Dewantoro, Pendidikan
Taman Siswa, Jogyakarta,
1962.

Saturday, June 18, 2011

Demo


Seekor katak pun bisa berdemo lho.. Dia akan bekerja hanya untuk makanan,tidak seperti manusia yg bekerja demi mengejar ambisi dan nafsu pribadi.

Monday, June 13, 2011

Kucing Atau Ayam ?


Menurut saya ini ayam,kalau anda ?

Kontes Kemiripan


Prosentase kemiripan adalah 70%.

Bagaimana menurut anda ?

Umbul Senjoyo Salatiga

Jika anda melintas antara Semarang-Solo,sempatkanlah mampir untuk sekedar mencuci muka atau minum air langsung dari sumbernya..

Gak jauh kok dari jalan raya, sekitar 1 km dari Terminal Pos Tingkir Kota Salatiga

DSC04494


DSC04493


DSC04492



image hosting

 

Iummi handicrafts & merchandise Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez